Atambua – Meningkatnya kasus rabies diwilayah perbatasan RI-RDTL, Kabupaten Belu,perlu ditangani dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pembentukan kader siaga rabies dengan dukungan pemerintah daerah guna meningkatkan aspek sosialisasi kepada masyarakat.

Sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam membantu pengendalian rabies di tingkat desa khususnya wilayah target pembebasan rabies di Kabupaten Belu, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan Peningkatan Kompetensi Kader Melalui Kegiatan Bimbingan Teknis Kader Siaga Rabies (KASIRA) dengan mengundang fasilitator yang berasal dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) AIHSP, FAO Indonesia dan Dinas Kesehatan Provinsi NTT.

Kegiatan ini berlangsung di aula Hotel Setia Atambua (3-5 April 2024) dan dibuka secara oleh Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Sekda Belu, Marsianus Loe Mau, SH.

Acara tersebut dihadiri Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT, Melky Angsar, Kadis Peternakan dan Perikanan Daerah, Yoos S. Djami, S.Pt. Hadir juga secara Daring Direktur Program Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP), John Leigh dan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Asisten Marsi Loe mengatakan, kegiatan Bimbingan Teknis (BIMTEK) dan Pembentukan Kader Siaga Rabies (KASIRA) di Kabupaten Belu ini membuktikan adanya komitmen bersama seluruh stakeholder dalam mengatasi dan memerangi penyebaran rabies di Kabupaten Belu.

“Kehadiran kita hari ini menunjukan komitmen bersama untuk melaksanakan visi kepemimpinan Bupati, Taolin Agustinus dan Wakil Bupati, Aloysius Haleserens yaitu untuk mewujudkan masyarakat Belu yang Sehat, Berkarakter dan Kompetitif,” ucap Asisten Marsi Loe.

Dijelaskan pula, rabies sendiri merupakan salah satu penyakit zoonotik yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Infeksi ini ditularkan oleh hewan yang terinfeksi penyakit rabies.

“Hewan utama sebagai penyebab penyebaran rabies adalah anjing, kelelawar, kucing dan kera. Di Indonesia rabies atau yang dikenal dengan “penyakit anjing gila” masih menjadi salah satu masalah yang mengancam kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Menurut Asisten Marsi Loe, penyakit ini awalnya masuk ke Provinsi NTT di Pulau Flores namun sejak tahun 2023 yang lalu penyakit rabies telah ada di pulau Timor. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya di Pulau Flores dan Lembata, Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sudah berlangsung lama, virus ini pertama kali di temukan di Desa Saratori pada tahun 1997 di Kabupaten Flores Timur.

“Sedangkan di Pulau Timor kasus rabies pertama kali ditemukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kecamatan Amanatun Selatan tepatnya di Desa Fenun, pada bulan Mei tahun 2023 lalu. Dan, di Kabupaten Belu pada tanggal 5 Maret 2024, sampel HPR (Anjing) dinyatakan Positif Rabies oleh Balai Besar Veteriner Denpasar. Ini menjadi kasus pertama HPR (Anjing) terjangkit Rabies, HPR (Anjing) ini berasal dari Dusun Wekabu, Desa Naekasa, Kecamatan Tasifeto Barat, Kabupaten Belu,” paparnya.

Marsi Loe menambahkan walaupun saat ini rabies sudah tersebar di seluruh kabupaten di Pulau Timor dan memakan banyak korban jwa namun di Kabupaten Belu sendiri belum terdapat korban jiwa

“Berdasarkan data pada Dinas Peternakan Provinsi NTT, sejak kasus penyakit rabies pertama di bulan Mei tahun 2023 sampai saat ini virus rabies sudah mencapai seluruh kabupaten di Pulau Timor dan korban meninggal akibat penyakit rabies di Kabupaten TTS 16 orang, Kabupaten TTU 4 orang, Kabupaten Malaka 2 orang, sedangkan di Kabupaten Belu sudah ada kasus gigitan anjing dan sampel positif rabies pada anjing di Desa Teun, Desa Maumutin, Desa Naekasa dan Kelurahan Kota Atambua namun belum ada korban manusia,” terang Marsi Loe.

Marsi Loe menekankan bahwa Pemerintah Kabupaten Belu telah melakukan berbagai usaha untuk menekan penyebaran penyakit rabies di Kabupaten Belu.

“Upaya preventif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Belu untuk mengantisipasi masuknya Rabies, dengan melakukan edukasi dan vaksinasi HPR yang telah dilakukan semenjak bulan Juli 2023 lalu, akan tetapi untuk edukasi dan vaksinasi ini belum dapat menjangkau semua wilayah di Kabupaten Belu,” katanya.

Pemerintah Kabupaten Belu Sangat Serius dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit rabies antara lain dengan mengalokasikan anggaran operasional vaksinator dan sarana pendukung vaksinasi pada tahun anggaran 2023, menyiapkan tenaga vaksinator sebanyak 30 orang, melakukan vaksinasi di desa-desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Timor Tengah Utara Dan Kabupaten Malaka serta tiga kecamatan yang ada dalam wilayah Kota Atambua pada tahun 2023 sebanyak 6.800 dosis.

“Selain itu Pemerintah Kabupaten Belu juga melakukan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat melalui sekolah – sekolah. Adapun cakupan vaksinasi sampai dengan bulan Maret Tahun 2024  berjumlah 10.820 dosis, dengan mengalokasikan anggaran untuk kegiatan vaksinasi rabies pada  tahun anggaran 2024 Sebesar Rp.273.816,-,” jelasnya

Sementara Itu, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT, Melky Angsar menyampaikan bahwa sampai saat ini, virus rabies sudah mencapai 6 Kabupaten di Pulau Timor sejak kasus pertama di Timor Tengah Selatan (TTS) Bulan Mei 2023.

Ia menyampaikan bahwa sejak Mei tahun 2023 hingga 2024 secara keseluruhan di NTT sudah ada 43 orang yang meninggal akibat rabies. Di Pulau Timor sudah mencapai 22 orang.

Ia merincikan di Pulau Timor sendiri Kabupaten TTS 16 orang, TTU 4 orang, Malaka 2 orang, sedangkan kabupaten Belu sudah ada  kasus gigitan anjing dan sampel positif rabies pada anjing di Desa Teun, Maumutin dan Naekasa, namun  belum  ada  korban nyawa manusia.

Demikian pula  Kota Kupang sudah ada sampel anjing positif rabies, sedangkan Kabupaten Kupang masih negatif.

“Sebagian besar korban jiwa manusia  disebabkan ketidaktahuan mereka dan keluarga akan bahaya rabies, bagaimana tatalaksana kasus gigitan pada manusia  setelah digigit  oleh anjing, sehingga  korban terlambat diberi penanganan medis oleh Dinas kesehatan terdekat,” jelasnya.

“Kita tidak harapkan orang meninggal tetapi melihat trend kalau kasus rabies masih tinggi artinya kemungkinan kematian masih ada karena banyak masyarakat yang tergigit anjing dan tidak melaporkan,” tambahnya.

Karena itu dengan pembentukan KASIRA di Kabupaten Belu diharapkan menjadi ujung tombak yang mampu menjembatani lintas sektor dan swasta serta menjadi kekuatan luar biasa dalam pengendalian rabies.

“Kita harapkan pembentukan kasira ini dapat melakukan sosialisasi hingga tingkat RT, melalui mimbar gereja setiap minggu, maupun kegiatan lain yang melibatkan banyak orang, sehingga masyarakat bisa tau kalau rabies ini betul ada dan bukan hanya omong-omong saja, karena sudah ada yang positif dan meninggal,” tegasnya.

Pembentukan  KASIRA di Kabupaten Belu yang didukung penuh oleh AIHSP melibatkan enam desa dengan masing- masing desa mengirimkan lima orang peserta  terdiri kader Posyandu, kader Puskeswan, pengurus  Kelompok Umat Basis (KUB), Babinsa dan babinkamtibmas. Selain itu perwakilan dari OPD terkait Kabupaten Belu yaitu Bappelitbangda, Dinkes, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pemdes dan Sosial, Dinas PPO, dan  BPBD. (Prokopimbelu).